Belajar Menjadi Pemimpin dari Narasoma

Posted: Jumat, 19 Maret 2010 by Afif 'Davit' Afriza in
0


Rekan saya sedang belajar, bahwa pemimpin itu akan menjadi besar ketika orang yang dipimpinnya pun menjadi besar. Selain itu, pemimpin pun akan maju jika dia juga berhasil membuat orang yang dipimpinnya itu bergerak maju.

Mengingat kembali apa yang diungkapkan oleh rekan saya itu, saya tersenyum. Ada benang merah dalam perjalanan manusia ketika dia menjadi pemimpin. Dan untuk itu, saya teringat akan salah satu lakon di dunia pewayangan bernama Narasoma. Bagaimana bisa begitu? Begini ceritanya…
Narasoma adalah putra mahkota kerajaan Mandraka. Dia selalu memberontak terhadap kungkungan istana. Di usia mudanya, dia memilih untuk melakukan pengembaraan sebagai perlawanan atas didikan ayahandanya, Sang Prabu Mandrapati. Setelah menikah tanpa restu dari orang tuanya, dia terusir untuk kedua kalinya dari istana Mandraka. Narasoma lalu hidup di desa, dan kembali ke istana untuk mewarisi tahta dengan gelar Prabu Salya setelah ayahnya bunuh diri dalam kesedihan dan penyesalan.
Malam hari setelah acara penobatan dirinya selesai, dia duduk bersama Petruk dan Nala Gareng – dua orang punggawa Punakawan. Mereka bertiga asyik bercakap-cakap. Petruk dan Nala Gareng banyak mendominasi pembicaraan. Sesekali diiringi dengan tertawa lepas dan terkadang hanya cekakak cekikik sendiri. Sementara itu, Narasoma hanya tersenyum mendengar ocehan kedua orang rekan bicaranya tersebut.
Petruk dan Nala Gareng banyak berbicara mengenai tentang kehidupan dan kejadian-kejadian di masa muda mereka. Mendengar apa yang dibicarakan oleh Petruk dan Nala Gareng, ada rasa aneh yang merayapi perasaan Narasoma. Keluguan mereka seolah memberi pengaruh kepada Narasoma. Tiba-tiba Narasoma berkata, “Sungguh, sebuah tanggung jawab yang besar menjadi seorang raja”.
Mendengar kata-kata Narasoma itu, sontak Petruk dan Nala Gareng menghentikan celotehannya. Diam, mengunci mulut dan menunggu kata-kata Narasoma selanjutnya. Lama sekali mereka terdiam, tapi rupanya kata-kata yang ditunggu tidak ujung keluar. Akhirnya Petruk pun memberanikan diri membuka kata-kata.
“Seorang raja adalah pemimpin, Raden. Dan sebaik-baiknya pemimpin adalah ketika dia mampu memimpin dirinya sendiri.“
Sejenak, Narasoma melirik ke arah Petruk dan kemudian berkata, “Kamu benar, Petruk. Saya telah menobatkan diri menjadi raja ketika saya masih belum mampu memimpin diri saya sendiri.“
“Eiittt, maaf Raden. Saya bukan bermaksud menyindir Raden, tapi mustinya demikianlah hakikat pemimpin.“, kata Petruk.
“Petruk, masih banyak ketidakjujuran yang saya pendam untuk diri saya sendiri. Dan itu bukti bahwa saya masih belum mampu memimpin diri saya sendiri”, ujar Narasoma.
Mendengar itu, Nala Gareng memotong.. “Jangan terpengaruh omongan Petruk, Raden. Dia kalau semakin malam semakin kumat edannya”.
“Hush.. kamu itu. Nuduh orang kok seenaknya. Apa kamu juga waras?”, sahut Petruk.
“He. He.. Orang sama-sama gila kok berantem“, sahut Gareng tak mau kalah.
“Ssstt… mbok kamu itu empati sama Raden ini, sepertinya lagi prihatin“, sela Petruk.
“Gila!“, sahut Nala Gareng kembali menggoda.
“Huh.. diemmmm!“
“Edannn…!“
“Ssttt… ”
“Ha.. ha.. ha.. ha.. “, tiba-tiba serempak Petruk dan Nala Gareng tertawa bersama dan membuat Narasoma tersenyum.

Seorang pemimpin seharusnya baru merasa berpuas diri ketika mereka yang dia pimpin telah sanggup dan mampu menjadi peminmpin. Dan bagaimana Ia sebagai pemimpin mampu memimpin dirinya sendiri. Mengendalikan nafsu dan amarah, berdaulat atas diri sendiri. Memang bukan hal yang mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Karena selain kecerdasan seorang pemimpin haruslah dibekali dengan perasaan cinta kasih yang kuat.
Untuk sahabat yang akan mengikuti pelatihan kepemimpinan…
Selamat berjuang, jangan pernah takut menghadapi karang yang melintang. Memang proses ini cukup melelahkan tapi percayalah banyak yang bisa dipelajari dan akan bermanfaat di masa yang akan datang.

Peluk Hangat Dari Sahabat

0 komentar: